Skip to main content

Mak Rempong Kursus Nyetir, Episode 1

Scared learner driver 
Kursus Nyetir
gambar diambil dari sini
Saya adalah orang yang senang naik kendaraan roda empat. Sejak kecil jika diajak jalan-jalan naik mobil atau bis, yang menyenangkan adalah perjalanannya ketimbang tempat tujuannya. Memandang ke luar jendela, melihat pemandangan yang berlalu, pohon-pohon yang berjajar tampak berkejaran, angin sejuk yang menyapu wajah, dan tentu saja alunan musik dari radio mobil. 
Tapi saya tidak pernah tertarik untuk menyetir mobil. Bahkan ketika teman-teman SMA dulu sering curi-curi menyetir mobil ke sekolah tanpa SIM dan menyogok supir pribadinya dengan uang jajan mereka. Juga ketika seorang sahabat kuliah mendapatkan SIM dan kami se-geng disupirinya kesana kemari. Juga ketika kami sudah mulai bekerja, dan seorang teman lain menceritakan bahwa menyetir adalah sarana menghilangkan stress setelah dari Senin sampai Jum'at "disetir" atasan dan rekan kerja, saya tetap lebih senang disupiri daripada nyupir!

Apalagi sejak pindah ke Tokyo, dengan sarana transportasinya yang nyaman dan tepat waktu. Suami juga senang nyetir, jadi tinggal duduk manis (aslinya ribet dengan anak-anak di jok belakang!). Konon memiliki SIM adalah salah satu nilai plus untuk melamar pekerjaan di Jepang, saya tetap tidak tertarik. Sampai akhirnya suami mendorong (dan membayari) kursus mengemudi sebagai bentuk me time yang bermanfaat, untuk sendiri dan keluarga. Saya pun riang gembira, karena tempat kursus mengemudi menyediakan bus antar jemput dan penitipan gratis untuk anak-anak, jika harus membawa si tengah (5 tahun) dan si bungsu (2 tahun) ke tempat kursus. 

Silakan baca juga Mak Rempong dan SIM Jepang

Saya sudah mencium aroma keribetan sejak awal mendaftar kursus. Meskipun iklan sekolah mengemudi woro woro bisa mendapatkan SIM dalam 13 hari saja, ternyata untuk kelas umum (paket paling murah), harus bersaing dengan peserta lain untuk mereservasi kelas praktik, apalagi saat saya mendaftar berbarengan dengan liburan musim dingin, yang artinya para pelajar dan mahasiswa berbondong-bondong untuk kursus. Begitu juga dengan kelas teori, meskipun ada setiap hari, ternyata tidak cocok dengan ketersediaan penitipan anak dan jam kepulangan si tengah sekolah. Setelah lama mengutak-atik skedul, akhirnya saya mendapat jadwal kursus tahap pertama, dengan kompromi disana sini. Ada yang harus mengambil seharian penuh, ada yang harus merelakan meninggalkan si sulung (9 tahun) sendiri di rumah, dan jadwal kelas dengan jeda terpanjang 2 minggu! Akibatnya, saya tidak pernah mendapat teman atau kenalan baru, karena selalu ditinggal lulus duluan!

木下綾香の歌日和-DSC_0060-1.jpg
contoh halaman muka
buku absen
gambar diambil dari sini
教習原簿
contoh isi halaman buku absen
diambil dari sini
Hari pertama kelas teori, setiap peserta diberikan buku absen, disebut kyoushuugenbo 教習原簿. Peserta hanya akan  mendapatkan buku absen jika saya datang tepat waktu, lalu mendapat stempel untuk kelas materi yang diambil jika benar-benar hadir seluruh jam pelajaran (tidak boleh mengantuk, tidak boleh bengong, tidak boleh main hape! Instrukturnya galak banget kalau memarahi peserta yang melanggar). Jika setelah kelas materi ada kelas praktik maka harus lapor instruktur saat beliau mengambil buku absen, kalau lupa lapor maka akan dianggap membatalkan sepihak kelas praktik, akibatnya harus membayar cancel fee sebesar 1.080 yen atau sekitar 100 ribuan, sekaligus harus melakukan reservasi lagi. Sebelum mulai kelas materi, peserta harus melakukan tes psikologi dan simulasi mengemudi. Seperti dugaan, hasil tes psikologi saya kebanyakan C dan D, artinya tidak bakat nyetir! 

Untuk kelas praktik, setelah mendapat buku absen maka peserta masuk ke mobil dengan nomor yang sudah ditentukan, instruktur juga sudah ditentukan, kecuali khusus meminta instruktur tertentu. Foto dan biodata instruktur (disebut kyoukan 教官)dipajang di lobby sekolah, dan tinggal pilih. Tapi sesuai arahan suami, setiap instruktur biasanya punya gaya  mengemudi masing-masing, maka semakin bermacam-macam instruktur maka semakin banyak gaya  referensi. Jadi saya pasrah saja dengen instruktur yang dipilihkan pihak sekolah. Lalu barang bawaan ditaruh di jok belakang mobil, duduk manis di kursi penumpang jok depan mobil, membawa buku absen dan menanti instruktur datang. Saat jam latihan tiba, bel sekolah berdentang dan berhamburanlah para instruktur keluar dari bangunan sekolah. Saat inilah saya biasanya mulai dag dig dug, bakal kegiliran instruktur macam apa ya?. Instruktur masuk mobil, duduk di belakang setir, mengambil buku absen, mengecek foto, lalu sambil mulai menyetir berputar-putar tempat latihan, instruktur menyampaikan materi praktik hari itu. Beberapa saat kemudian kami bertukar posisi, saya duduk di belakang setir dan mulailah 50 menit sesi latihan mengemudi. Selesai sesi, instruktur akan membubuhkan stempel, yang artinya peserta dapat melanjutkan ke sesi berikutnya. Jika instruktur tidak membubuhkan stempelnya, maka peserta harus mengulang latihan sesi yang sama, harus mengulang reservasi dan membayar kelas tambahan sekitar 4000 yen atau 400 ribuan untuk setiap satu sesi!

Biaya-biaya tambahan insidental inilah yang membuat tekanan batin. Jika harus mengulang, atau teledor sedikit saja, maka biaya kursus bakal membengkak. Sejak jam latihan pertama, terbukti saya tidak berbakat nyetir. Saat harus belok, selalu terlambat atau terlalu cepat memutar setir, akibatnya mobil melanggar center line. Begitu juga saat harus lurus, saking kencangnya memegang setir, mobil selalu melenceng ke kanan dan ke kiri, istilah Jepangnya dakou unten 蛇行運転, alias meliuk-liuk seperti ular! Melalui 5 jam praktik pertama yang membuat putus asa; nyetir lurus aja gak bisa, belok apalagi! Yang ada di pikiran cuma satu; kira-kira berapa banyak tambahan uang yang harus saya bayar sampai mendapat SIM?
蛇行運転
ilustrasi dakou unten 蛇行運転, 蛇 artinya ular,
jadi beginilah gaya saya nyetir, meliuk-liuk seperti ular!
ilustrasi diambil dari sini
Reaksi instruktur juga bermacam-macam, ada yang keukeuh berusaha dengan berbagai cara supaya saya bisa megerti, ada yang selalu membesarkan hati bahwa saya akan bisa di belokan berikutnya dan pasrah saat ternyata saya gagal lagi, dan yang paling membuat patah hati adalah instruktur yang selalu menertawakan kegagalan (disusul kepanikan) saya di setiap belokan. Instruktur ini, sebut saja O Sensei, adalah instruktur yang mungkin akan saya ingat seumur hidup!

Bersambung

Comments

Popular posts from this blog

Youkan atau Dodol Jepang

Homemade Mizuyoukan Saat Ibu saya mengunjungi kami di Tokyo, kegembiraan beliau yang paling terasa adalah menemukan kembali makanan masa kecil. Meskipun Tokyo adalah kota metropolitan yang canggih dan gemerlap, tapi tengoklah pojok makanan tradisional mereka. Jangan kaget jika menemukan teng teng beras, opak, kue mochi, kue semprong, rambut nenek-nenek (harum manis di-sandwich semacam kerupuk renyah), kolontong ketan, gemblong dan banyak lagi. Karena saat itu musim gugur, kesemek membanjiri supermarket, Ibu saya selalu berfoto dengan gunungan buah kesukaannya di masa kecil, yang kini jarang ditemukan di negerinya sendiri. Tapi yang paling beliau sukai adalah, youkan. Beliau menyebutnya dodol. Ada banyak sekali varian youkan, tapi yang beliau sukai adalah shio youkan. Bedanya dengan dodol, kadang ada dodol yang kering, atau dodol yang agak liat. Saya sendiri suka dengan makanan tradisional Jepang, mengingatkan pada camilan kalau mudik ke Tasik saat lebaran. Masalahnya, rata-rata b

Cerita Kelahiran Raika

Alhamdulillah....akhirnya saya menjadi ibu juga. Si neng lahir hari Jumat 5 Desember 2008, Berat Lahir 3.512kg Panjang Badan 51 cm, dan kami namai RAIKA 来香 . Sayang sekali proses kelahirannya tidak mendapatkan liputan yang layak

Menyurangi Resep Ebi Furai

Salah satu makanan favorit keluarga adalah furai atau gorengan, terutama ebi furai. Biasanya kalau saya membuat stok makanan beku saya sekaligus membuat ebi furai , chicken nugget dan hamburg/burger patties . Cuma belakangan si Aa udah mulai jarang tidur siang, jadi sudah tidak bisa lama-lama mencuri waktu membuat stok makanan lagi.